ekonomi
Langganan

Lidah Buaya untuk Keluarga dan Masyarakat Gunungkidul - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Bayu Jatmiko Adi  - Espos.id Ekonomi  -  Rabu, 4 September 2024 - 06:35 WIB

ESPOS.ID - Sejumlah karyawan berada di ruang produksi minuman lidah buaya Rasane Vera, di Gunungkidul, DIY.(Istimewa)

Esposin, SOLO — Alan Efendhi, pria kelahiran Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 1988, menunjukkan bahwa niat baik, komitmen dan kerja keras akan menuntun pada hasil yang baik.

Meski sempat menjadi tontonan warga yang heran dengan aktivitasnya menanam tanaman lidah buaya, kini usahanya justru mampu memberikan tambahan pendapatan untuk masyarakat sekitarnya.

Advertisement

Alan sebelumnya sempat bekerja di luar kota. Namun melihat orang tuanya di Gunungkidul yang terus bertambah usia, dia pun memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Tujuan utamanya pulang kampung adalah agar bisa menemani orang tuanya.

Namun setelah muncul niat untuk pulang kampung, dia juga berpikir bagaimana agar dirinya tetap bisa mendapatkan penghasilan. Sebagai putra daerah Gunungkidul, dia tahu betul kondisi daerahnya. Jika ingin mengembangkan usaha pertanian, juga akan menghadapi tantangan yang tidak mudah sebab daerah tersebut sudah dikenal sebagai daerah kering atau lahan tadah hujan. Belum lagi dia tidak memiliki latar belakang pendidikan pertanian.

“Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan pertanian. Ketika saya memutuskan terjun ke pertanian berarti harus belajar lagi. Dari situ muncul ide, kira-kira komoditas apa yang tidak butuh skill banyak, bisa ditanam di lingkungan ekstrem seperti Gunungkidul,” kata lulusan Teknik Otomotif SMK 45 Wonosari, Gunungkidul tersebut saat ditemui Esposin di Solo, pertengahan Agustus 2024 kemarin.

Advertisement

Lidah buaya tentunya bukan satu-satunya komoditas yang terlintas di benaknya. Bahkan Alan juga sempat berencana untuk budi daya pepaya California, anggur, dan buah naga. Namun dari referensi yang dia dapatkan, akhirnya dipilihlah aloe vera atau lidah buaya.

Menurutnya, untuk budi daya anggur, papaya California maupun buah naga, butuh pengetahuan yang lebih dibandingkan ketika ingin budi daya lidah buaya. Alasan lainnya, dia menilai belum banyak pelaku budi daya lidah buaya saat ini. Menurut Alan, tanaman lidah buaya juga memiliki banyak manfaat, bahkan termasuk satu dari 10 tanaman terlaris di dunia.

“Sebab tanaman ini bisa masuk di industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Kalaupun saya tidak bisa mengolah sebagai produk kosmetik karena modalnya tinggi, saya bisa lari ke farmasi, atau lainnya. Kalau tetap tidak bisa, paling ringan ya membuat olahan makanan dan minuman. Kalau tidak bisa membuat secara pribadi, saya masih punya jalan lain yakni menjual produk mentah ke tiga industri itu. Artinya peluangnya banyak,” kata dia.

Akhirnya dengan memanfaatkan lahan pribadi dengan luas sekitar 2.000 meter persegi, Alan mulai menanam lidah buaya. Kegiatan itu dia lakukan pada 2014 lalu di kampungnya, Jeruklegi, Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saat itu dia juga sudah mempelajari, tanaman lidah buaya akan butuh waktu sekitar 12 bulan dari awal penanaman sampai bisa dipanen. Sejak awal, Alan sudah memutuskan hasil panen lidah buaya tersebut akan dibuat produk minuman.

Advertisement

Setelah panen, dia mulai membuat minuman lidah buaya yang kemudian dia jual di sekolah-sekolah di sekitar rumahnya. Kemasannya saat itu juga masih sangat sederhana, hanya dibungkus plastik dan ujungnya diikat karet, seperti kemasan es lilin. Setelah mulai dijual, produk lidah buaya akhirnya mulai dikenal, baik dari sisi budi dayanya maupun dari sisi produk. Berikutnya pesanan pun mulai datang dan terus bertambah.

Seiring dengan kondisi usaha yang kian tumbuh, menuntut Alan untuk mendapatkan bahan baku lebih banyak. Hal inilah yang menuntunnya untuk menggapai apa yang menjadi cita-citanya selama ini. Sebagai warga Gunungkidul, dia sangat ingin bisa memberikan dampak kepada masyarakat sekitar.

Dia berupaya untuk menggandeng petani-petani atau masyarakat di sekitarnya untuk ikut menanam lidah buaya, di mana hasil panennya nanti akan dia serap untuk dijadikan produk minuman.

“Dari awal, niat saya juga ingin sekali menyejahterakan keluarga dan lingkungan. Tapi belum ketemu saja [caranya] waktu itu. Setelah ada aloe vera, saya mencoba melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk lingkungan. Saat itu saya dihadapkan dengan supply dan demand, produk banyak keluar tapi bahan baku kurang,” tutur dia.

Advertisement

Namun untuk membuat masyarakat percaya dengan komoditas baru tersebut juga tidak mudah. Edukasi ke masyarakat hingga kampanye penanaman lidah buaya garis dilakukan, namun saat itu belum ada masyarakat yang mau. Baru di 2018 ada masyarakat yang mau menanam lidah buaya. Itu saja dimulai dari kalangan keluarga dulu.

Ketika keluarga terdekat Alan ikut menanam, kemudian bisa panen dan hasil panennya diserap untuk dijadikan produk minuman, secara bertahap masyarakat sekitar mulai percaya. Terlebih, dalam memproduksi produk minuman lidah buaya tersebut Alan lakukan di rumahnya, sehingga masyarakat juga bisa melihat langsung prosesnya.

Secara berangsur banyak masyarakat sekitar yang tertarik menanam lidah buaya. Kemudian terbentuk beberapa kelompok budi daya lidah buaya. Saat ini total sudah ada 125 petani mitra yang terbagi dalam beberapa kelompok tani maupun secara personal di Gunungkidul dan daerah lain.

Para mitra di Gunungkidul juga bisa memanfaatkan lahan-lahan kritis seperti bekas galian batu kapur, lahan gersang dan lainnya. Dia pun berharap melalui budi daya lidah buaya tersebut bisa membantu masyarakat sekitar untuk mendapatkan sedikit tambahan penghasilan.

Advertisement

Penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 Bidang Kewirausahaan, Alan Efendhi, saat berada di lokasi usahanya, di Gunungkidul, DIY.(Istimewa)

Alan menjelaskan penyerapan hasil panen dari warga tidak terpaut waktu. Selama proses produksi produk minuman berlangsung, maka kebutuhan bahan baku akan terus ada. Untuk itu secara bergilir, Alan mengambil hasil panen dari para petani mitra, sesuai kebutuhan produksi.

“Jadi saya sistemnya tidak ada panen raya. Kami sesuaikan kapasitas pabrik untuk memproduksi. Saya per hari maksimal 500 kg, jadi masih skala UKM. Untuk penyerapan dari mitra, kami lakukan secara bergilir. Katakanlah sebulan sekali, mereka akan setor lidah buaya. Minimal sekali setor 250 kg untuk satu petani,” jelas dia.

Setiap kali setor, petani akan mendapatkan tambahan pendapatan sesuai besaran dan kualitas lidah buaya yang ditanam. Dia menjelaskan untuk lidah buaya dengan kualitas grade A bisa dihargai Rp3.000/kg kemudian untuk lidah buaya grade B dihargai Rp2.000/kg. Ukurannya yang besar memungkinkan satu pelepah lidah buaya dari jenis yang ditanam warga tersebut memiliki bobot sekitar 1 kg.

Seiring berjalannya waktu, usaha miliknya terus berkembang. Produk yang semua hanya dikemas secara manual, sekarang telah menggunakan mesin otomatis. Dari sisi jumlah, yang awalnya hanya mampu memproduksi sekitar 50 kemasan setiap harinya, kini sudah meningkat hampir 300%. Kemudian sejak 2018 produknya telah dikemas dengan branding sendiri, dengan brand Rasane Vera, dan telah bersertifikat halal.

Sebagai seorang wirausaha, Alan melalui usahanya, Mount Vera Sejati, bermimpi untuk bisa menguasai pasar minuman sehat di area Jawa maupun nasional. Menurutnya ketika mimpi itu bisa dicapai, maka dirinya akan semakin bisa menggandeng lebih banyak petani mitra dan lebih banyak karyawan untuk produksinya.

Advertisement

Saat ini usaha Mount Vera Sejati milik Alan telah memiliki 12 karyawan. Melalui usaha tersebut, Alan juga telah mendapatkan beberapa penghargaan. Salah satunya dia terpilih sebagai Penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 Bidang Kewirausahaan.

Selain usaha minuman Rasane Vera, Alan juga mengembangkan wisata edukasi Aloe Land di tempat tinggalnya. Aloe Land secara resmi diresmikan pada 2023 lalu namun sejak 2018 sudah banyak menerima tamu. Destinasi itu dikembangkan karena melihat potensi banyaknya tamu yang berkunjung ke lokasi produksi Rasane Vera. Setidaknya ada empat atau lima rombongan tamu datang setiap pekannya.

Menyerap Tenaga Kerja

Melalui pengembangan Aloe Land tersebut dia juga berharap bisa memberikan dampak pada lingkungannya. Mulai dari potensi lahan parkir yang bisa dikelola para pemuda kampung, menghidupkan warung-warung milik masyarakat di area Aloe Land, menyerap tenaga kerja khususnya untuk pemandu wisata dan sebagainya.

Dia mengatakan lokasi wisata edukasi yang berada di Jeruklegi, Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, DIY, itu menawarkan pengalaman yang lengkap. Tamu akan mendapat kesempatan menikmati pemandangan alam Gunungkidul, terutama area tanam lidah buaya. Tamu juga bisa belajar mulai dari hulu hingga hilir, yakni belajar tentang budi daya aloe vera hingga proses pengolahannya. Bahkan tamu juga bisa mencicipi makanan olahan aloe vera. Bagi yang butuh oleh-oleh, tempat tersebut juga menawarkan produk-produk olahan aloe vera yang bisa dibeli dan dibawa pulang.

Salah satu warga Katongan, Sumarni, merasa senang bisa terlibat dalam budi daya aloe vera yang dirintis Alan. Sudah sejak lama Ketua Kelompok Wanita Tani Mount Vera Agrotech tersebut menginginkan adanya usaha yang bisa dijalankan para ibu-ibu di daerah tersebut agar bisa membantu para suami mencari tambahan pendapatan.

“Dulu saya sangat prihatin, bagaimana agar ibu-ibu itu bisa membantu para suami. Saat itu memang agak sulit. Akhirnya ditemukan aloe vera ini,” kata dia saat dihubungi Esposin, Jumat (23/8/2024) lalu.

Dia mengatakan sebelum adanya budi daya lidah buaya yang dirintis Alan, masyarakat di daerah tersebut hanya mengandalkan hasil panen dari lahan tadah hujan, seperti jagung, kacang, ketela pohon dan padi. Sedangkan saat masuk musim kemarau, nyaris tidak ada tanaman yang diandalkan. Sebab jika dipaksakan menanam tanaman tersebut saat musim kemarau, bisa terjadi gagal panen.


Penerima Apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 Bidang Kewirausahaan, Alan Efendhi, saat ditemui Esposin di Solo, 14 Agustus 2024 lalu.(Esposin/Bayu Jatmiko Adi)

Dia mengatakan saat ini para ibu-ibu yang tergabung di dalam KWT Mount Vera Agrotech sudah ikut menanam lidah buaya di lahannya. Penanaman pertama dilakukan sekitar tahun 2017-2018. Saat ini KWT Mount Vera Agrotech memiliki 25 anggota aktif yang melakukan budi daya lidah buaya.

Dia juga menceritakan awalnya sekitar 2014 Alan yang merintis budi daya lidah buaya di daerah tersebut. Kemudian warga tertarik karena ternyata ada nilainya dan bisa dijadikan minuman yang menyegarkan.

“Saat merintis dulu [Alan] ya bisa dikatakan jadi tontonan. Banyak yang bertanya-tanya, untuk apa menanam lidah buaya banyak-banyak di lahan seperti itu. Sebab saat itu belum ada informasi itu nanti ada pihak yang mau menampung hasilnya atau tidak. Tapi ketika terbukti bisa diolah dan laku dijual, akhirnya masyarakat percaya,” jelas dia.

Menurutnya tanaman lidah buaya juga mudah dibudidayakan. Tidak membutuhkan lahan yang luas, bahkan bisa ditanam di pekarangan atau di talut. Cukup dengan sedikit air dan pupuk kandang, tanaman tersebut sudah bisa tumbuh dengan baik. Dia juga mengatakan hasil panen lidah biaya tersebut akan dibeli dengan harga Rp3.000/kg untuk yang kondisinya bagus. Kemudian ada yang dijual dengan harga Rp2.000/kg.

Selain menanam untuk dijual di Mount Vera Sejati, warga juga membuat olahan dari lidah buaya atau campuran lidah buaya. Misalnya keripik, pangsit, dodol dan lainnya. Bahkan menurutnya ada anak-anak sekolah yang melakukan riset untuk menuman semacam teh dari kulit lidah buaya yang dicampur bahan lain sepeti serai.

“Produk dari ibu-ibu itu kemudian nanti dibantu Mas Alan untuk branding dan pemasarannya. Karena di sini sering ada kunjungan edukasi, jadi produk itu kemudian dititipkan di tempat Mas Alan,” ujar dia.

Advertisement
Anik Sulistyawati - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif